Merantau

"Perjalanan mencari pengalaman hidup itu adalah merantau. Sebuah ujian dan pendidikan jasmani-rohani; terakhir untuk membuktikan pengetahuan dan kehandalannyo di muka dunia. Alam semesta menjadi guru pembimbing; yang akan membedakan cahaya kebenaran dan cahaya kesalahan."

Mamak (narasi Christine Hakim) - Merantau

Merantau, kata-kata itu sebenarnya cukup familiar bagi saya. Ayah dan ibu saya langsung merantau dari Lombok dan Bali, tempat mereka dibesarkan, tidak berapa lama setelah menikah. Bahkan kakek saya, dulu sering berpindah-pindah tempat, dari Medan sampai Ende. Cerita lain, katanya kakek buyut saya dulu pernah ikut berlayar dengan kapal Jepang dan kemudian meregang nyawa di sana. Jadi, merantau adalah hal yang cukup biasa di keluarga saya.

Saya pun mantap akhirnya (kadang-kadang nekat dan cenderung buru-buru mengambil keputusan) untuk belajar kembali di (dekat) ibukota. Padahal teman belum ada, keluarga juga jauh. Pokoknya coba dulu. Rupanya Tuhan memuluskan jalan awal saya. Lulus test yang sedikit pake bonda-bandi, tebak-tebak buah manggis, dan setelah diskusi dengan orangtua, saya pun berangkat daftar ulang, sekaligus mencari tempat tinggal. Sms saya ke seorang teman ternyata berujung informasi kost yang cukup bagus. Beruntung lagi, yang empunya kamar baru saja pindah dua hari yang lalu. Kamarnya murah (untuk ukuran di sini), lingkungan dekat kampus dan ada teman saya di depan kamar. Saya tidak perlu lagi repot-repot berkeliling Depok mencari kost.

Ketika saya kembali ke Bali, banyak yang mempertanyakan; kenapa harus "jauh" belajar ke Depok; kenapa tidak bekerja saja dulu di Bali; kasian Bapak-Ibu sendiri; perempuan itu jarang S2, dan lain-lain. Lagi, saya diserang ragu. Apa sih yang sebenarnya saya cari? Beruntung saya punya orang tua yang sangat sangat pengertian. Saya tidak tahu apa yang ada di benak orangtua saya, sementara cerita beberapa teman yang ingin sekali keluar kota, tapi tidak diizinkan orangtua mereka. Saya, anak perempuan satu-satunya, dan orangtua tidak (atau belum) pernah membatasi ke mana saya mengejar mimpi saya. "Jauh-jauh lah pergi, supaya semakin belajar," begitu selalu pesan ayah dan ibu saya. Saya sangat sangat bersyukur untuk itu.

Namun, memang manusia itu tidak pernah puas. Di minggu-minggu awal belajar di sini, saya cukup optimis dan bersemangat. Apalagi ada Indah, yang banyak membantu saya; dari tour de Kober, bis kuning, pocin, dan lain-lainnya. Lagi, saya bersyukur sekali. Tapi....kadang-kadang hati ini ragu-ragu lagi. Adaaa saja yang menggoyahkan, godaan ingin bekerja, cerita kawan-kawan, teman-teman kampus yang sebagian sudah bekerja dan punya karir, dan sebagainya. Saya jadi bingung, apa yang mau saya cari dengan belajar lagi? Ilmu sudah pasti. Tapi ilmu tanpa pengalaman juga belum berarti. Belum lagi idealisme awal saya jika mau sekolah lagi, sebisa mungkin tidak membebankan dari orangtua. Kalau ingat-ingat idealisme itu dan membandingkannya dengan sekarang, saya jadi malu sendiri.

Seringkali kadang saya bertanya lagi, apakah keputusan sekolah lagi ini benar? Bukankah sebaiknya saya mencari pengalaman dengan bekerja dulu? Tapi, buru-buru juga kalau saya mau berubah haluan saat ini. I have to finish what I already started. Dan belajar di sini sudah jadi keputusan bulat saya. "Merantau" di sini juga sudah cukup punya banyak cerita buat saya. Saya belajar untuk tidak gampang berprasangka dengan orang lain, karena memang seburuk-buruknya seseorang terlihat dari luar, pasti ada saja kelebihannya. Yaa, tentu saja juga yang paling penting kembali belajar Neorealisme, Liberalisme, Eyang Morgenthau, Pakdhe Keohane, Om Jervis, atau Mas Mearsheimer, dan keturunan-keturunannya. Tinggal di sini juga membawa sedikit memori tentang Pekanbaru dan Sumatra. Kenapa? Karena lumayan banyak uda dan uni Minang dengan Nasi Padang-nya atau lagu urang awak yang diputar di warung fotokopi. hehehe. 

Ah walaupun mungkin dibilang naif...Kita memang seringkali tidak sadar bahwa kita sebenarnya bahagia ya.







Comments