YO! INDONESIA
Image: Nobodycorp Internationale Unltd |
Hari ini Presiden ketujuh Indonesia telah terpilih. Proses demokrasi yang menjadi perjuangan rakyat Indonesia sejak 1998 berbuah manis. Sayang, manisnya buah proses demokrasi tersebut tidak (atau mungkin belum) diikuti dengan jabat tangan pihak yang "kalah" dan "menang" pasca pengumuman KPU. Yang ada malah pernyataan menarik diri dari proses demokrasi akbar yang selama beberapa bulan ini menggema di tanah air; yang tidak hanya melalui kampanye yang terlihat di mata, namun juga dalam dunia maya.
Menarik adanya jika mencermati "kemenangan" Joko Widodo dalam pilpres 2014 ini. Bagaimana tidak, sosoknya yang ceking dan (katanya) ndeso berbeda jelas dengan sosok capres lainnya yang kental dengan latar belakang militer, berbadan tegap, dan lahir dari keluarga akademisi sekelas begawan ekonomi negara. Jujur, saya pun sempat ragu pada awalnya. Ucapan "the best among the worst" seringkali keluar dari mulut ini menyikapi siapapun presiden yang akan terpilih nantinya. Namun, ternyata saya salah. Sosok yang ceking dan ndeso itu ternyata mampu menyihir lebih dari 70 juta pemilih Indonesia dengan kharisma dan kinerjanya. Di balik cibiran "pencitraan" yang selalu ada di belakangnya, tetiba saya melihat ada ketulusan yang menjadi daya tarik khas seorang Joko Widodo.
Ketika Jokowi menyebutkan Revolusi Mental sebagai visi unggulannya, saya pun tergelitik. Bukan karena visi itu naif, seperti yang banyak disindir oleh kubu lainnya, namun revolusi ini menjadi sangat relevan dalam proses demokrasi di Indonesia dan globalisasi yang terus bergulir. Dalam banyak literatur mengenai globalisasi yang beredar, fase yang dihadapi saat ini adalah gelombang ketiga. Berbeda dengan dua gelombang lainnya, ide dan pemikiran menjadi "harta" yang amat bernilai. Berbeda pula dengan masyarakat dan pemimpin industrialisasi gelombang kedua yang banyak berfokus pada distribusi kekayaan, aliran informasi yang masif dalam gelombang ketiga menempatkan pengetahuan dalam posisi penting kekuasaan. Menurut Alvin Toffler dalam "The Third Wave", implikasinya adalah pola masyarakat yang hierakis pada gelombang kedua pun digantikan oleh masyarakat yang lebih konfiguratif, namun bersifat sementara (transient). Proses demokrasi dalam kerangka konsensus suara mayoritas versus yang lebih minor pun sulit dicapai karena permasalahan negara dan arsitektur kelembagaan serta masyarakat yang semakin kompleks. Bagi pergerakan masyarakat yang baru mengalami transisi demokrasi, sebuah pengaturan imajinatif yang mampu mengakomodasi melimpahnya arus informasi pun menjadi cita-cita. Di sinilah, menurut saya media sosial dan bentuk kreatif lainnya mengambil posisinya.
Lebih lanjut lagi, berbeda dengan karakter masyarakat gelombang kedua yang cenderung terbiasa dengan pekerjaan repetitif dan proses birokrasi berbelit, masyarakat gelombang ketiga lebih kompleks. Tidak hanya sebagai konsumen atau produsen saja, masyarakat gelombang ketiga ingin menjadi "prosumen"; produsen dan konsumen dalam waktu bersamaan. Di sini lagi, menurut saya media sosial berperan. Menurut Manuell Castells, media sosial kemudian menjadi "mass-self communication" dimana individu dapat menjadi penikmat informasi, namun di sisi lain dapat menjadi cyber persona yang menghasilkan dan menyebarkan informasi.
Gagasan, pemikiran dan bentuk ilmu pengetahuan lainnya yang terus berkembang inilah yang dijadikan celah bagi Revolusi Mental tim Jokowi. Bahkan menurut George Modelski, et. al, leading sector dunia yang terus bertransformasi dari sektor elektronik dan otomotif, kemudian teknologi dan informasi saat ini, akan digantikan oleh global intelligence puluhan tahun ke depan. Artinya, integrasi ilmu pengetahuan secara global menjadi sesuatu yang sangat strategis apabila sebuah bangsa ingin memegang posisi penting dunia. Memang, distribusi kekayaan masih sangat penting. Bahkan menurut beberapa teman yang mendukung kubu sebelah, Revolusi Mental hanyalah ide elitis semata. Toh nelayan, petani di desa-desa terpencil sana masih belum melek informasi. Yang terpenting adalah mereka dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, itu saja. Itu pun tidak salah. Namun, ide "Revolusi Mental" menurut saya cukup strategis untuk menghadapi tantangan bangsa di masa depan.
Saya pun tidak memungkiri bahwa tim Jokowi juga tidak lepas dari catatan hitam. Sosoknya yang sederhana bukan berarti pula saya mendewakannya. Begitu pula dengan Prabowo Subianto. Jujur, pada pengambilan nomor urut di KPU lalu, saya cukup tersentuh dengan salam "Om Swastyastu" yang diucapkan Prabowo. Bagi kami yang minoritas ini, ucapan seperti itu mampu menyentuh bahwa kami "ada". Namun, politik ternyata memang bukan retorika semata. Jokowi menang sebanyak 71% lebih di Bali. Dan ketika konferensi kemenangan tadi, Jokowi pun mengikuti cara Prabowo dengan mengucapkan berbagai salam religius. Bukti bahwa seharusnya seorang pemimpin tidak perlu malu meniru sesuatu yang baik dari lawannya.
Dan setelah drama Pilpres ini berakhir, saya berharap sekali agar kabinet Jokowi nantinya dapat benar-benar membawa Indonesia ke arah yang lebih cerah. Bukan hanya pertumbuhan ekonomi di atas 6%, tapi juga keadilan (kasus HAM, penjualan tanah adat dan konservasi, keadilan bagi kelompok minoritas, dll). Dan semoga Revolusi Mental yang digaungkan tidak berakhir sebagai jargon pemilu semata. Melihat antusiasme rakyat Indonesia selama beberapa bulan terakhir, yakin rasanya kalau sebenarnya individu Indonesia itu orangnya kreatif dan cerdas.
Selamat Pak Jokowi, tetaplah jadi orang yang jujur, sederhana dan bekerja ya Pak. Rakyat menunggu pembuktianmu :)
Comments