"Bali, aku pergi sebentar ya..."

Bagian belakang rumah di kampung saya, Desa Joanyar, Singaraja :)
“Bali, aku pergi sebentar ya. Pergi dari jalanmu yang mulai macet. Bali, aku pergi sebentar ya. Pergi dari pantaimu yang katanya indah, yang di sekelilingnya berdiri hotel megah, wah.”

(Nosstress – Ini Judulnya Belakangan)

Saya lahir dengan darah Bali, nama (dan wajah) yang juga Bali banget. Namun, selama tahun-tahun belakangan, Bali jarang menjadi rumah bagi saya. Bali adalah kampung halaman, tempat kakek-nenek dan moyang saya berasal. Bali adalah suku yang ditahbiskan orang-orang ketika mendengar nama saya. Tapi, dulu, jarang saya mengatakan “pulang” ke Bali. Yang ada malah “pulang” ke Surabaya, atau kadang-kadang “pulang” ke Depok. Maklum, alasan utama saya: Dilahirkan di Medan, dibesarkan di Pekanbaru, Surabaya-Sidoarjo dan sekarang tinggal di Depok.

Desember lalu saya “pulang” ke Bali. Kini Bali telah menjadi rumah saya yang sebenarnya, secara de facto. Orangtua saya memutuskan “pulang” dan menetap Bali. Bersama-sama kami berniat kembali “belajar” menjadi orang Bali. Namun, ternyata itu tidak mudah. Di samping kendala bahasa saya, saya merasa harus mulai dari nol lagi. Rasanya saya kembali sepuluh tahun yang lalu ketika pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya; seperti orang asing, tapi kali ini di kampung halaman sendiri.

Lelah menjadi orang asing di kampung sendiri, saya sengaja mengambil topik tulisan akhir mengenai provinsi ini. Niat saya, ingin berkenalan dengan orang baru dan mengenal Bali lebih dalam lagi. Tidak mudah pada awalnya, karena semua dilakukan sendiri. Namun akhirnya saya menemukan ritme Bali. Menonton konser sendirian, datang ke Taman Baca Kesiman (tempat yang sangat saya rekomendasikan), hingga akhirnya berkontak lagi dengan kawan lama dan menambah teman baru.

Bali memang indah, dengan penari Legong Keraton atau terasering sawah Ubud yang sering muncul di halaman muka kartu pos itu. Namun, Bali juga menyimpan sekelumit hal yang tersembunyi di belakang wajah cantiknya. Rebutan kepentingan penguasa dan pengusaha, salah satunya. Pariwisata seringkali dijadikan alasan untuk mendulang kekayaan lokal, namun akhirnya tidak menjadikan orang Bali “tuan” di tanahnya sendiri. Alam dan budaya akhirnya layaknya emas, dengan pariwisata sebagai manifestasi sektor pertambangan lokal. Kawasan Selatan pun sesak, padahal banyak wajah Bali di Utara, Barat, dan Timur yang jarang diperlihatkan.

Namun, selama pengamatan singkat saya kemarin, saya melihat wajah-wajah dan semangat baru Bali. Saya melihat orang-orang yang secara nyata berusaha mempertahankan tanah leluhur yang mereka banggakan. Tidak hanya itu. Ketika saya mengikuti parade budaya “Tolak Reklamasi Teluk Benoa Berkedok Revitalisasi” kemarin, bahkan ada teman-teman yang rela jauh-jauh dari Tangerang, Banyuwangi atau daerah luar Bali lainnya yang rela mengambil cuti, membeli tiket dan ikut tumpah dalam semangat menjaga Bali.

Saya pun terhenyak. Ternyata banyak orang yang lebih Bali daripada saya. Banyak yang lebih mengerti Bali daripada saya yang notabene menyandang nama seorang Bali. Saya kagum dan mudah-mudahan kekaguman ini terus memicu saya untuk belajar dan mengenal Bali. Karena ketika akan kembali ke Depok, tiba-tiba perasaan saya campur aduk. Tumben sekali. Padahal biasanya saya sangat excited kembali ke kota lain, namun kali ini berbeda. Saya pun teringat komentar pembaca buku “Pulang” karya Leila S. Chudori, bahwa “pulang” bukan hanya sebagai “a return”, namun juga sebagai “an exodus” ke dunia asal yang belum sepenuhnya dimengerti. Entah “pulang” yang mana yang sedang saya alami saat ini.

“Esok ku kembali, semoga beton tak tumbuh lebih subur daripada pepohonan…”

Bali, aku pergi sebentar ya. Pergi ke Depok menuntut ilmu :)

Comments

Unknown said…
Ehmmm gurihh, membacanya membuatku jadi kangen Kundur
Unknown said…
Ehmmm gurihh, membacanya membuatku jadi kangen Kundur