Untuk Per-empu-an

Sumber: Google Indonesia, Edisi Kartini 21 April 2016

Raden Ajeng Kartini, putri sejati, harum namanya. Itulah yang akan selalu diingat ketika tanggal 21 April. Mulai dari adik-adik kecil dengan baju tradisional mereka sampai para dewasa dengan posting-an Hari Kartini dan foto kebaya mereka.

Kartini memang ikon emansipasi perempuan. Meskipun bukan hanya dia satu-satunya. Ada Cut Nyak Dien, Marsinah, dan pahlawan perempuan lain dengan masing-masing kontribusi mereka. Kartini menjadi ikon karena pemikirannya tentang pendidikan yang telah maju pada zaman itu. Hari ini di sebuah media sosial teman saya membaca meme, yang mengatakan bahwa Kartini adalah putri dari pernikahan poligami. Pun ketika ia menikah dengan Bupati Rembang saat itu, ia bukanlah yang pertama. Lalu mengapa Kartini masih dijadikan ikon emansipasi?

Teringat saya, dulu pernah membaca pemaknaan "perempuan" dan "wanita". Mengapa yang ada adalah "Komnas Perempuan", "Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak", sementara di sisi lain ada "Dharma Wanita"? Banyak yang mengatakan bahwa perempuan bermakna "per-empu-an", dia yang memiliki dirinya sendiri, dia yang berdaya akan dirinya sendiri. Sementara, "wanita" ditafsirkan sebagai "wani ditata"; yang katanya erat kaitannya dengan konteks politik dan patriarki. Di lain pihak, yang memilih menggunakan kata "wanita", menganggap kata itu lebih sopan. "Per-empu-an" pun katanya bisa dimaknai sebagai obyek, dia yang di-punyai, bukan dia yang memiliki. 

Sementara itu, dalam sebuah diskusi yang sore tadi saya dengarkan, Prof. Komarudin Hidayat menyebutkan bahwa terdapat tiga relasi laki-laki dan perempuan seiring perubahan masa dan konteks geografis. Pada kondisi masyarakat dengan tradisi berburu, peran laki-laki sangat dominan. Hal ini juga berlaku pada masa peperangan, ketika perempuan seringkali menjadi komoditas dalam perang itu sendiri. Sementara itu, dalam masyarakat dengan tanahnya yang subur, peran perempuan seringkali menjadi pemikul tanggung jawab yang lebih dibanding para laki-laki (yang kebanyakan telah memiliki warisan tanah atau mengandalkan kekayaan orang tua mereka). Masyarakat Bali (katanya) adalah salah satu contoh bentuk relasi ini. Sementara yang ketiga? Prof. Komarudin mengatakan bahwa relasi yang ada (seharusnya) adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, terlebih lagi di era informasi saat ini. Laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki kesempatan yang sama. 

Gagasan Kartini maju dalam masanya yang tentu berbeda dengan konteks sekarang. Terlepas dari perdebatan mengenai ikon dirinya untuk emansipasi perempuan, perayaan Hari Kartini tidak hanya lekat dengan berbusana tradisional dan kebaya. Saat ini, hari lahirnya juga banyak dirayakan dengan diskusi gagasan baru yang sarat makna. Dan mengenai istilah "perempuan" dan "wanita" itu, biarlah sekarang "wanita" dimaknai "wani menata", alias mereka yang mampu memimpin dan berdaya akan dirinya sendiri. Dan "perempuan" pun benar bermakna ia yang memiliki sesuatu yang mulia. 

Comments