Senja Pulang Kampung


Ini cerita tentang Senja, yang sedang berkelana
Menjadi satu dari belasan juta di ibukota
Macet, polusi dan asap kopaja, semua tak apa;
Atas nama mimpi dan cita-cita, katanya.

Kata orang tua, nama itu adalah doa
Senja lahir hari Sabtu Legi; sore hari waktu tenggelamnya mata hari
"Indah dan bersahaja", begitu katanya soal filosofi nama "Senja".

Senja sudah hampir dua tahun di ibukota
Kantornya gedung tinggi, buka pintu saja harus pakai ID
Setiap hari, harus di kantor dengan baju cantik dan sepatu tinggi.

Ah indah dan bersahaja, nama itu doa atau sugesti saja ya?

Jangan salah, bukannya Senja tak suka kerja di Jakarta
Walau setiap hari harus berdesakan di kereta
Apalagi di gerbong wanita
Kena cakar sering, bahkan sepatu Senja pernah ketinggalan di sana
"Didorong ibu-ibu, sepatu ketinggalan satu. Kaya Cinderella,"
Ah, hidup di Jakarta itu lucu ya, katanya.

Jangan salah juga, bukannya Senja tak cinta pekerjaannya
Walau pergi pagi dan pulangnya malam sekali
Apalagi kalau ada klien minta presentasi,
Senja pasti dibuat pusing setengah mati
Tapi, semua pasti dikerjakannya dengan sepenuh hati,
Walau bukan ia yang dapat nama, tapi ah...itu urusan nanti.

Senja juga bukannya tak senang kerja di korporasi
Ia bisa bertemu banyak orang; anggota dewan sudah biasa, apalagi pengusaha
Kliennya macam-macam; dari Pak Sandi yang baru jadi politisi, sampai Pak Agung si Bos Properti
Walau kadang...ya ada saja yang tak sesuai dengan kata hari
Tapi katanya, "menjadi dewasa adalah mencintai apa yang tidak kita sukai",
Begitu nasihat mas Nadjib, tetangga Senja dari kubikel sebelah.

Jangan salah juga, bukannya Senja tak mau kembali ke kampung halaman
Pikirannya sering terusik dengan kedua orang tuanya yang menua di sana
Apalagi Kak Eka ikut istri tugas belajar, Kak Adi ikut kapal pesiar berlayar
Senja tahu, selalu ada kasak kusuk dari keluarga dan tetangga
"Punya anak perempuan satu-satunya kok dibiarkan jauh-jauh kerja?"
"Kasihan orang tuanya. Kok tega ya anak perempuannya?"
"Udah Pak, Bu, anak perempuannya jangan terlalu mandiri",
Kadang Senja kesal, gerah, tapi juga maklum di dalam hati.

Bukannya juga Senja tidak rindu dengan kampungnya,
Walau tak ingin selamanya di Jakarta, tapi semua pasti ada waktunya
Apalagi hidup sendiri di kota besar memang rawan sepi,
Menyibukkan diri tapi kadang lupa mencari arti
Senja kadang rindu sawah atau pia hangat dari kampungnya;
Rasanya lebih enak dari pia eksklusif yang dijual dekat bandara;
"Yang ada logo penarinya itu loh...", kata teman-teman kantornya kalau minta titip dibelikan.

Hari ini, akhirnya Senja pulang kampung
Terbayar juga lelahnya setelah bekerja saat orang-orang cuti bersama
Senja selalu suka waktu penerbangan sore hari; sesuai dengan namanya
Melihat langit Jakarta lalu disambut dengan lampu-lampu pantai di Kuta
Makanya Senja selalu suka duduk dekat jendela sambil membaca
Terbayang sudah wajah Ibu dan Ayahnya di rumah mereka;
Ibu dan Ayah yang selalu sabar dengan omongan keluarga dan tetangga.

"Lampunya dinyalakan aja mbak kalau mau baca,"
Gak usah mas, nanti ganggu.
Yang empunya suara malah menyalakan lampu
"Baca apa?"
Burung-burung rantau
"Oh Romo Mangun...Baline dije?*"
Baturiti, Blinya?
"Singaraja. Surya", sambil mengulurkan tangan ia berkata.

Sambil ngobrol, sesekali Senja melihat dari jendela, lampu di sekitar Kuta bercampur dengan warna jingga.
Ah indah dan bersahaja, Senja percaya semua akan baik pada waktunya.

*Balinya di mana?"

Jakarta, 5 Agustus 2017
Image source: Magenta Tour website

Comments