Kedai Bang Marbun, Sidikalang Hangat dan Hitung Cepat
Image source: Kompas Group
Sore ini Kedai Bang Marbun lebih ramai daripada biasanya. Tidak mau kalah dengan kedai kopi kekinian dan kedai kopi franchise luar negeri di ujung jalan sana, hari ini seluruh menu kopi di kedai ini dipotong harganya sebesar 20%. Syaratnya cuma satu, menunjukkan jari yang sudah dicelup tinta ungu. Tidak heran jika kedai ini semakin sesak. Demografinya tetap sama, laki-laki di atas umur 30-an dan sebagian besar adalah ajudan pejabat di gedung rakyat di ujung jalan sana.
"Bos minumnya di kedai hijau-hijau itu lah. Kalau kita ya di sini saja," sayup-sayup aku dengar dari salah satu laki-laki bersafari bertubuh tambun di meja dekat jendela.
"Eh bengong kau, mau minum apa?" Bang Marbun menghampiriku.
"Seperti biasa Bang, ditambah roti bakar srikaya."
Walaupun ukurannya jauh lebih kecil daripada kedai kopi - atau cafe - di jalan ini, menurutku kopi Bang Marbun yang terbaik. Hampir semua orang yang datang ke kedai ini tahu, kopi Sidikalang adalah menu andalan Bang Marbun. Entah itu diseduh sebagai kopi tubruk atau diaduk dengan susu kental manis, takarannya selalu pas. Pahit, tidak terlalu asam, dan rasanya akan cukup lama tertinggal di tenggorokan setelah meminumnya. Biasanya kupesan kopi Sidikalang hangat tanpa gula dan susu, dan roti bakar Srikaya untuk memberikan rasa manisnya. Dari dulu hingga sekarang, kedua menu itu tak pernah berubah rasanya.
"Jadi...kau pilih siapa tadi?"
Sudah menjadi ciri khas Bang Marbun untuk menghampiri setiap pelanggannya untuk berbincang. Apalagi aku termasuk pelanggan perempuan yang paling setia.
"Abang tahu lah. Aku pilih yang kasih proyek saja hehehe. Nomor lima, Bang."
"Ah dasar kau. Sampai kapan mau jadi tukang survei cabutan?" ujarnya sambil terkekeh.
Ada satu hal yang lupa aku sebutkan. Selain menjadi tempat ngopi ajudan, Kedai Bang Marbun juga menjadi tempat tukang survei cabutan seperti aku nongkrong dan kadang bertukar data. Kalau beruntung, aku bisa juga sesekali menggali informasi dari para ajudan dan sopir yang juga ngopi di sana. Dan Bang Marbun tahu, dalam dua kali Pemilihan Umum terakhir, pilihanku selalu berubah-ubah. Ini masih lebih baik daripada yang dulu, hari pemilihan saja selalu luput dariku.
"Kalau kau pilih siapa, Togar?" Bang Marbun menghampiri meja di sebelahku.
"Nomor tiga lah, Bang. Sudah jelas bibitnya, muda, ganteng, taat agama, keluarga baik-baik. Ini bukan karena aku dapat proyek lho, Bang," ujarnya sambil menolehku.
"Wah sama kita. Percaya lah aku kalau si Abang ini tak mungkin korupsi seperti gubernur kemaren-kemaren."
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk hormat ke Bang Togar. Pasangan nomor tiga ini memang belakangan mencuri perhatian dan kalau boleh jujur, menjadi saingan terberat pasangan calon nomor lima. Di provinsi yang kutinggali ini, gubernur keluar masuk penjara itu bukan hal yang baru. Entah berasal dari latar belakang tentara, anggota dewan hingga pejabat sementara pun tak luput dari kasus korupsi. Tak heran jika angka golput di sini cukup tinggi. Bahkan, dalam survei yang aku himpun, jumlahnya paling tinggi di tingkat nasional.
Pemimpin terakhir yang paling bersih dari kasus korupsi mungkin adalah Abang Saragih. Tidak kenal kata ampun untuk makelar proyek, gayanya sangat khas masyarakat asli provinsi ini: jujur dan tidak suka berbasa-basi. Abang Saragih sangat dicintai masyarakat hingga akhirnya menjabat selama dua periode. Kantor Gubernur selalu penuh dengan warga saat Abang Saragih menjabat, entah dengan mereka yang ingin mengungkapkan kekesalan atau hanya sekadar ingin berfoto bersama. Namun, yang lebih ramai adalah jalanan ibukota provinsi ini dua tahun lalu, ketika Abang Saragih wafat. Masyarakat berbondong-bondong mengantar Abang Saragih ke peristirahatan terakhirnya; mulai dari pejabat hingga tukang bentor*, tidak peduli agama apalagi suku.
Pasangan nomor tiga Pemilihan Umum kali ini adalah Patar Saragih dan Maruli Simanjuntak. Paruli-an, begitu akronim sekaligus jargon mereka yang katanya berarti "membawa keberuntungan". Keduanya masih muda, dua orang di awal 40-an. Patar berlatar belakang pengusaha, dan Maruli adalah mantan Kepala Dinas Pariwisata. Dari namanya mungkin orang bisa menebak: Patar adalah putra Abang Saragih.
"Ah Abang tahu dari mana keluarganya baik-baik. Bukannya Patar itu punya selingkuhan artis ibukota?" tiba-tiba Imam menghampiri kami.
Imam memang senang menebar gosip. Dan yang kutahu sekarang ia bekerja untuk pasangan nomor satu, yang kalau aku boleh bilang paling kecil elektabilitasnya di Pemilu.
"Memang siapa artis ibukota-nya?" aku bertanya.
"Inisialnya - M. Apa si penyanyi dangdut Moni Fontana?"
"Ah kau ini macam bursa cawapres kemaren aja, pakai inisial-inisial segala." Tawa pun meledak di kedai kopi kecil ini.
"Ssssst...ssst...Diam kelen." Bang Marbun mengeraskan volume suara TV.
Kami semua terdiam. Bagi kami pelanggan setia Kedai Bang Marbun, kami sudah hafal stasiun TV yang selalu disetel di sini. TV di kedai ini tidak bisa diganggu gugat: hanya boleh menyiarkan stasiun TV Bernas alias Berita Nasional. Pernah suatu waktu Imam iseng-iseng mengganti saluran TV karena katanya ingin menonton gosip artis. Alhasil, ia didiamkan oleh Bang Marbun selama seminggu.
"Makin ganteng si Jo sekarang ya, Bang. Klimis kali rambutnya..." ujar Bang Togar.
"Cocok kali dia di Jakarta. Macam artis saja penampilannya," Imam si tukang gosip ikut nimbrung.
Bang Marbun masih menonton TV dengan seksama. Matanya tidak berkedip dan raut kekaguman jelas terlihat di wajahnya. Sore ini stasiun TV Bernas tengah menayangkan hasil hitung cepat Pemilihan Gubernur di sejumlah provinsi, tak terkecuali di sini. Kami semua tahu, bukan deretan angka dan grafik yang menjadi perhatian Bang Marbun, tapi sosok dengan jas rapi di layar kaca: Jo Marbun atau yang dulu kukenal dengan Matonang Jogi Marbun.
"Kapan dia main ke sini lagi, Bang?" Imam bertanya sambil menyeruput kopi susunya.
"Heh, ssshhh." Bang Togar melirik Imam seakan memberi kode.
Bagi kami pelanggan setia kedai kopi ini, sudah bukan rahasia lagi jika Bang Marbun sangat merindukan putranya, Jo. Sudah hampir delapan tahun Jo merantau ke ibukota dan belum pernah sekalipun ia pulang ke rumah. Aku teringat sosok Jo yang juga merupakan adik kelasku ketika SMA. Sosoknya yang pintar, ditambah lagi dengan wajah tampan dan badan bidang memang sejak dulu jadi idola. Ketika lulus kuliah ekonomi, Bang Marbun sangat berharap Jo bisa melanjutkan usaha kedai kopinya.
"Cocok kali dengan yang kau pelajari di kampus. Bisa lah kau urus keuangan kedai,"
Tapi, Jo katanya ingin tampil di TV. Karirnya dimulai dari stasiun TV lokal sebagai reporter biasa; dari meliput banjir hingga gempa bumi dan juga kasus korupsi, semua ia jabani. Dan ketika ia mengiyakan tawaran 'naik pangkat' ke stasiun nasional, Bang Marbun murka sekaligus bangga. Ia marah karena Jo tak meminta pendapatnya, namun ada kebanggaan tersendiri melihat putranya akan dikenal khalayak nasional. Ego keduanya membuat Bang Marbun dan Jo semakin berjarak hingga tak ada lagi komunikasi di antara mereka.
Waktu menunjukkan pukul 17.00 dan angka-angka hasil pemilihan di daerah pun mulai ramai muncul di teks bawah berita. Sudah ada dua cangkir kopi Sidikalang di depanku dan roti srikaya yang hari ini entah kenapa kurang membuatku berselera. Sampai tiba-tiba ponselku bergetar, tanda ada pesan masuk.
"Kamu di mana? Aku jemput ya."
Kubiarkan pesan itu terbaca hingga terlihat dua centang biru. Tak kubiarkan pesan itu mengganggu konsentrasi mata ini ke deretan hasil hitung cepat. Walaupun bukan yang resmi, tapi tak jarang hitung cepat memang menunjukkan hasil dari lembaga pemerintah yang akan baru keluar satu dua bulan ke depan, itupun kalau tidak diperkarakan.
"Kamu di kedai Bang Marbun kan? Nanti aku minta Bang Sadeli untuk jemput ya."
Kubiarkan pesan itu hanya terbaca. Angka-angka terus bergerak. Tak disangka, pasangan nomor 1 ternyata tidak ada di nomor buncit. Kulihat Imam sedikit tersenyum. Setidaknya bos besarnya sedikit happy.
Kulihat Jo Marbun sedang mewawancarai seorang Direktur Komunikasi lembaga survei. Ingin melihat reaksi di media sosial katanya. Sambil mendengarkan mereka, kulihat pasangan nomor tiga terus unggul di hampir semua lembaga survei. Pasangan nomor lima-ku gagal jadi Gubernur. Ah, tak apa pikirku. Paling nanti mereka maju lagi sebagai calon anggota DPR. Yang penting bayaranku sudah di depan.
"Oke, aku tunggu di sini ya," kubalas akhirnya pesan itu.
"Segera meluncur! Jadi, kita rayakan di mana, Marina?"
"Di mana saja. Kubantu nanti siapkan pidato kemenangan. Selamat ya, Patar."
*bentor: becak motor
Comments