Landslide

Walaupun judulnya dalam Bahasa Inggris, tapi rasanya lebih nyaman menulisnya dalam Bahasa Indonesia. Kenapa landslide? Karena lagu ini adalah salah satu favorit saya dan menggambarkan betapa perubahan itu seringkali tidak nyaman. "Well I've been afraid of changes cause I've built my life around you. But times make you bolder, even children get older. And I'm getting older too..." (Landslide - Fleetwood Mac). 

Sudah setahun saya menjalani pekerjaan di tempat baru ini. Secara tempat, bidang, apalagi prestise, mungkin ini sudah dekat dengan apa yang saya impikan selama ini. Bekerja di sebuah "multi-cultural working environment" yang selama ini seringkali jadi 'penghias' di cover letter saya. Bidangnya pun seringkali hard politics, yang cukup sesuai dengan yang saya pelajari. Walaupun ada hal-hal yang menyangkut ekonomi, yang jujur sangat asing bagi saya, terutama perihal teknis. 

Setahun ini saya mencoba menyenangi apa yang saya kerjakan. Bersyukur tentu saja, karena di tengah ketidakpastian ini, ada sebuah pekerjaan yang bisa saya jadikan pegangan. Namun setahun ini, dan mungkin karena pandemi ini, saya jadi mengevaluasi apa yang sebenarnya bisa membuat saya bahagia. Belajar di tempat baru ini tentu saja merupakan keharusan, namun seringkali saya merasa tertekan, terbebani, dan juga minder melihat teman-teman lainnya yang notabene lulusan kampus luar negeri. Mereka bisa mengemukakan pendapat lebih baik, bisa berbahasa Inggris dengan 'eloquent', menulis dengan istilah yang 'edgy', dan seterusnya. 

Mungkin hal ini juga yang membuat saya terkadang kalut dengan pikiran saya sendiri. Saya merasa terbebani harus bisa setidaknya ada di level mereka yang lulusan kampus luar negeri itu. Saya pun termotivasi untuk lebih aktif dalam diskusi, lebih banyak membaca dan update berita (terutama di twitter) dengan alasan...walaupun saya lulusan kampus dalam negeri, setidaknya ada hal lain yang bisa membuat saya terdepan. 

Namun, kadang hal itu juga yang membuat saya tertekan dan tidak fokus. Ditambah lagi dengan pandemi yang membuat interaksi langsung sangat minimal, saya kehilangan momen di mana bisa berbagi dengan orang-orang secara langsung. Di satu sisi pula, saya tidak menyesali keputusan saya untuk pindah dari pekerjaan lama. Walaupun pada awalnya saya sempat mempertanyakannya. Dan jujur, saya sempat sedih sekali ketika tidak ada perpisahan yang 'proper' (dalam pikiran saya saat itu) dari kantor lama. Namun, saya memposisikan diri saya lagi saat itu. Bagaimana mungkin saya ingin dibuatkan perpisahan yang 'proper' kalau saya resign dengan sedikit tiba-tiba, dan sebelumnya baru saja mendapat kesempatan belajar di negeri tetangga? Well, setidaknya saya cuma ingin 'pengakuan' saat itu, bahwa saya juga berkontribusi di sana. Kalau mengingat itu, rasanya masih sedih...dan kecewa. Tapi ini mengajarkan saya untuk tidak pernah berharap dan berekspektasi berlebihan. Kantor adalah sebuah ruang profesional untuk belajar, bukanlah keluarga. 

Pengalaman di kantor lama itu juga yang membuat saya tahu bahwa akan selalu ada 'anak emas' dan ternyata saya yang sekarang tidak punya cukup kapasitas untuk menjadi yang diemaskan. Dulu mungkin saya akan sedikit 'luka hati' kalau tidak diperlakukan secara sama, namun sekarang rasanya saya sudah kurang peduli, walaupun tendensi itu masih ada. 

Ah, kembali lagi ke pekerjaan sekarang. Berkali-kali saya mencoba meyakinkan diri untuk terus berjalan. Namun seringkali rasanya tiba-tiba kecemasan itu muncul, apalagi ketika saya dihadapkan pada sesuatu yang baru dan para atasan (dalam pemikiran saya) berekspektasi saya sudah menguasainya. Saya jadi semakin cemas dan takut, sehingga mungkin kehilangan 'excitement' dalam bekerja. Saya bekerja dengan bayang-bayang ketakutan saya sendiri. 

Jika nantinya sudah ada kesempatan untuk pergi, ingin rasanya saya mengambil cuti panjang dan rehat dari semua hal yang serius ini. Kadangkala saya ingin menengok ke belakang, "apakah seharusnya saya mengambil studi komunikasi, menjadi jurnalis seperti mimpi SMA dulu?", dan banyak hal lainnya. Saya juga belajar bahwa kadang sesuatu yang kita impikan itu tidak selalu langsung membuat kita bahagia, justru banyak perjuangan yang dilewati...hingga akhirnya kita benar-benar dapat menikmatinya, atau justru tidak menginginkannya lagi karena ada hal lain yang bisa membuat lebih bahagia. Jujur, saya masih mencari hal itu. 

Banyak yang bilang kalau ini adalah karena pandemi, tapi sebenarnya kalau dirunut sejak lama, ini sudah terjadi sejak lama bagi saya. Saya kehilangan 'excitement' dalam menghadapi laptop misalnya, karena melihat laptop atau tulisan itu sebagai sesuatu yang tidak 'fun' lagi. Mungkin ini sebenarnya akumulasi sejak lama, tapi saya juga tidak berani untuk mendiagnosis diri saya sendiri. 

Ah, banyak sekali ya memang ingin ini ingin itu. Di sini saya bisa menghargai pilihan orang-orang apapun itu dalam kehidupan mereka. Pilihan yang mungkin orang lain lihat sebagai sesuatu yang sederhana, namun jika itu mendatangkan kebahagiaan, akan jauh lebih paripurna dibanding mengejar sesuatu demi ambisi sesaat. Ah, mungkin saya cuma butuh tempat bertutur seperti dulu lagi, tanpa siapapun yang menghakimi. 


*Jakarta, 15 Februari 2021. 




Comments