Life is never fair

Hari ini saya mendapat pelajaran berharga, bahwa hidup itu tidak pernah adil. Kadang kita merasakan privilese, kemewahan tersendiri, tapi seringkali hal sebaliknya terjadi: orang lain yang mendapatkan hak istimewa tersebut, sementara yang lain dikesampingkan. 

Hari ini kolega saya mengabari bahwa dia mendapatkan tawaran fasilitas kesehatan secara tiba-tiba dari kantor. Kami berdua sama-sama belum mendapatkan fasilitas tersebut, tapi dia beserta beberapa kolega lain di kantor secara tiba-tiba ditawarkan fasilitas tersebut. Saya kaget, kecewa sekaligus marah. Butuh waktu untuk mencerna informasi tersebut. Mengapa saya tidak diberi tahu? Mengapa saya bahkan tidak mendapatkan informasi sedikitpun tentang ini? Saya merasa punya hak yang sama, pun merasa bekerja sama kerasnya di kantor, walaupun secara kemampuan mungkin saya ada di bawah mereka. 

Kemudian saya curhat ke orang tua dan teman-teman terdekat tentang ini. Butuh validasi saja sebenarnya atas kekecewaan ini. Ada yang mengatakan bahwa selama ini saya yang kurang bisa menyampaikan bahwa saya sedang tidak baik-baik saja sehingga kantor tidak menempatkan saya dalam daftar penerima fasilitas kesehatan tersebut. Namun, reaksi paling refleks yang saya terima adalah: karena mereka tinggal bersama keluarga mereka di Jakarta, sehingga mereka menjadi kelompok yang lebih berisiko di kala pandemi ini. Apalagi jika keluarga yang tinggal bersama mereka ada yang mengidap komorbid. 

Saya terhenyak. Jadi saya yang tinggal sendiri ini tidak berisiko selama pandemi? Walaupun sudah sejak lama saya tinggal sendiri dan tentu saja cukup nyaman dengan kondisi ini, tinggal sendiri selama pandemi tentulah berbeda. Jika di rumah ada kehangatan keluarga, masakan Ibu, teman untuk berkeluh kesah...saya di sini harus menghadapinya sendiri. Cemas, ketakutan mendengarkan suara ambulans yang makin sering terdengar semingguan belakangan, hingga mimpi buruk ditinggal orang-orang terdekat, mungkin contoh yang saya alami. 

Inhale, exhale. Lalu saya berpikir, "kenapa sih kok saya jadi merasa korban mengenai hal yang mungkin buat sebagian orang sederhana ini?" Tentu alasan pertamanya adalah perlakuan yang saya rasa kurang adil, kesempatan yang tidak sama dalam mendapatkan fasilitas kesehatan ini. Apalagi fasilitas kesehatan yang ditawarkan itu yang berasal dari luar negeri dan tentunya menurut riset punya tingkat efektivitas tinggi. Namun, setelah kekecewaan ini mulai mereda, saya merasa mungkin benar adanya saya telah memiliki privilese dengan hidup sendiri selama pandemi ini. Tidak ada yang perlu saya khawatirkan di tempat tinggal saya sekarang: hanya saya yang perlu saya perhatikan; saya cukupi makananannya; saya jaga kesehatannya. Tentu hal ini berbeda bagi mereka yang tinggal dengan keluarga. 

Sampai sekarang pun rasanya saya masih berusaha legawa dengan kondisi ini. Pelajaran dari pengalaman ini adalah terkadang manusia (baca: saya) lupa bahwa dirinya selama ini diberikan hak istimewa, yang mungkin diinginkan orang lain. Ketika kondisinya berbalik, mungkin menerima adalah opsi satu-satunya. Menerima bahwa hidup tidak pernah adil dan selalu ada yang lebih istimewa dari lainnya. Masalahnya adalah apakah kita ada di kelompok istimewa itu atau yang hanya melihat dari luar. 

PS. Fasilitas kesehatan...pandemi...efektivitas...semoga mengerti apa yang saya maksud. 

Comments