Rekonsiliasi : Acknowledgement, Contrition and Forgiveness



“The rainbow nation starts here. Reconciliation starts here. Forgiveness starts here too.”
-Invictus (2009)

Kutipan di atas datang dari film Invictus (2009) yang memiliki latar kondisi Afrika Selatan pasca Nelson Mandela terpilih sebagai Presiden kulit hitam pertama di negara tersebut. Terpilihnya Mandela sebagai presiden sekaligus menandai berakhirnya politik apartheid yang menjadi praktik diskriminasi antara masyarakat kulit hitam dan kulit putih Afrika Selatan. Rekonsiliasi kemudian pun dimulai dan tidak menjadi hal yang mudah pada awalnya. Diskriminasi ras yang telah berjalan selama bertahun-tahun tidak mudah begitu saja dilupakan, khususnya bagi masyarakat kulit hitam Afrika Selatan.

Charles Lerche dalam Peacebuilding through Reconciliation (2000) mengungkapkan bahwa signifikansi rekonsiliasi muncul pada masa menjelang akhir Perang Dingin yang ditandai dengan munculnya negara-negara baru pasca keruntuhan Uni Soviet. Montville dalam Lerche (2000) mengungkapkan bahwa rekonsiliasi merupakan salah satu bentuk akomodasi dengan formula pengakuan (acknowledgement) terhadap masa lalu dan forgiveness dari korban konflik yang terjadi. Montville juga menambahkan bahwa rekonsiliasi dirancang layaknya sebuah workshop dimana kedua pihak yang dahulu pernah berkonflik sama-sama merasa aman (secure) dan terkadang diakomodasi oleh pihak ketiga yang bersikap netral dan mampu merekonstruksi ulang sejarah dengan tidak melukai kedua pihak. Sementara itu, Lederach dalam Lerche (2000) memaknai rekonsiliasi sebagai sebuah sistem yang lebih holistik dan melakukan pendekatan yang berfokus pada perhatian terhadap dinamika hubungan dalam sistem konflik. Menurut Lederach, jika tercipta sebuah persepsi baru dalam hubungan antarkelompok, hubungan dalam sistem konflik dapat berkembang menjadi lebih baik, apalagi ketika tercipta sebuah pemahaman (mutual understanding) antara pihak-pihak yang berkonflik (Lerche, 2000).

Secara garis besar, Montville dalam Lerche (2000) mengungkapkan terdapat tiga unsur langkah resolusi konflik melalui rekonsiliasi, yaitu pengakuan (acknowledgement), perasaan bersalah atau menyesal (contrition) dan kesediaan untuk memaafkan (forgiveness). Namun, beberapa dilema juga harus dihadapi dalam rekonsiliasi ini. Lerche (2000) mengungkapkan bahwa tujuan utama rekonsiliasi adalah penyebaran forgiveness sebagai hal paling mendasar yang sekaligus membuktikan bahwa pemulihan konflik telah sampai pada tingkat psikologis individu. Namun, hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi para rekonsiliator. Mengetahui apa yang sebenarnya pernah terjadi sebelumnya tidak selalu menyisakan akhir yang melegakan bagi masyarakat korban konflik. Mengetahui fakta yang sebenarnya terkadang malah membuat mereka lebih marah dan semakin tidak dapat melupakan masa lalu (Lerche, 2000).

Konflik kultural di Afrika Selatan merupakan salah satu contoh sulitnya untuk mencapai tujuan utama rekonsiliasi. Politik apartheid yang melakukan diskriminasi terhadap masyarakat kulit hitam di negara ini telah berlangsung menahun dan telah mencapai eskalasi yang cukup tinggi. Konflik ini telah sampai pada “cultural of violence” yang ditandai dengan kekerasan dan ancaman terhadap masyarakat kulit hitam yang dilakukan oleh masyarakat kulit putih. Ketika Mandela terpilih sebagai presiden pertama dari entitas kulit hitam di negara tersebut, banyak tantangan yang harus dihadapi. Mandela dihadapkan pada masyarakat kulit hitam yang mengelu-elukannya, semntara di sisi lain masih ada masyarakat kulit putih yang telah sebelumnya mendominasi pemerintahan Afrika Selatan. Salah satu model rekonsiliasi yang dipilih Mandela cukup unik, yaitu penciptaan rasa “nation sense of belonging” melalui tim football Springbook yang didominasi oleh masyarakat kulit putih. Melalui kampanye “one team, one nation” Mandela ingin menciptakan rekonsiliasi antara dua entitas ini, terutama bagi masyarakat kulit hitam untuk memberikan “forgiveness” terhadap apa yang pernah dilakukan masyarakat kulit putih sebelumnya. Melalui dukungan Mandela terhadap tim ini, akhirnya Afrika Selatan berhasil melaju dalam World Cup Football pada tahun 1995.

Rekonsiliasi secara etimologis berasal dari kata “re” yang berarti kembali dan “conciliate” yang berarti mendamaikan. Rekonsiliasi merupakan salah satu bentuk resolusi konflik yang didasarkan pada aspek psikologis individu dan memiliki tujuan utama berupa “forgiveness”. Namun, untuk mencapai tujuan ini bukanlah hal yang mudah. Rekonsiliasi yang berusaha menyelesaikan konflik dengan “menembus masa lalu” terkendala pada trauma psikologis dan trauma.

Bagi saya, rekonsiliasi adalah sebuah proses memaafkan, bukan hanya dari kata-kata, namun juga didasari dari sikap yang mau "merangkul" musuh lama dan kemudian tetap berdiri melihat masa depan.

Forgive is indeed different with Forgetting the problem.
It is like when you flush the closet without close it. The shit is already dissapear, the smell still remains.

So, why not forgetting?


Referensi :
Charles, Lerche, 2000. Peace Building Through Reconciliation, International Jurnal of Peace Studies, Vol. 5 No. 2. Autum Winter

Comments

Anonymous said…
sinta...keren banget tulisannya :)...

best,
rainy