Demokrasi dan HAM di Indonesia: Masyarakat Sipil dan Keadilan Transisional 1965
Monumen Pancasila Sakti, Jakarta Sumber: Google Images |
Dinamika Perang Dingin antara
Blok Barat dan Blok Timur yang dimulai pada dekade 1950an merupakan salah satu
konteks politik internasional yang berpengaruh terhadap konstruksi sejarah
bangsa Indonesia. Konflik ideologi antara Demokrasi Liberal dan Komunisme di
tingkat internasional turut berimplikasi pada gejolak yang terjadi di tingkat
elit politik dan masyarakat Indonesia. Di tingkat nasional, retorika Nasakom
(Nasionalis, Agama dan Komunis) yang disampaikan oleh Presiden Soekarno pada
periode Demokrasi Terpimpin memberikan ruang bagi Partai Komunis Indonesia (PKI
untuk) semakin berkembang. Tumbuhnya PKI menjadi salah satu kekuatan politik
yang cukup diperhitungkan di Indonesia, beriringan dengan Partai Nasional
Indonesia, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU).[1] Pada
tahun 1965, PKI mengklaim memiliki 3,5 juta anggota partai dan 23,5 juta
afiliasinya. Hal ini membuat PKI menjadi salah Partai Komunis terbesar yang
berada di luar negara Komunis.[2]
Gejolak politik nasional Indonesia pada periode
Perang Dingin mencapai titik klimaks pada peristiwa 30 September 1965.
Terbunuhnya lima jenderal Angkatan Darat dalam peristiwa tersebut mendorong
tuduhan PKI sebagai dalang pemberontakan terhadap pemerintah. Adanya perpecahan
antara faksi Angkata Darat dan pendukung Soekarno dalam pemerintahan akhirnya
menciptakan propaganda Gerakan 30 September (Gestapu) dengan PKI sebagai
aktornya.[3]
Sebagai implikasinya, sentimen negatif terhadap PKI dan Komunisme dalam masyarakat
pun semakin meluas. Sejumlah pemberontakan dan pembunuhan massal mewarnai
sejumlah area basis PKI di wilayah Indonesia, antara lain Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali dan Sumatera Utara. Adam Schwarz mencatat bahwa dalam periode tahun
1965 hingga 1966, jumlah pembunuhan massal terhadap anggota maupun mereka yang
dituduh berafiliasi dengan PKI diperkirakan mencapai angka 100 ribu hingga satu
juta jiwa.[4]
Pembunuhan massal tersebut seringkali dikaitkan sebagai salah satu peristiwa
terbesar pada abad ke-20, bersamaan dengan pembunuhan oleh Nazi pada Perang
Dunia II dan pertumpahan darah dalam rezim Mao pada tahun 1950an. Sepanjang
periode kelam tersebut, korban tidak hanya meliputi para anggota PKI, namun
juga anggota keluarga dan masyarakat sipil lainnya.
Seiring dengan transisi pemerintahan Soekarno
menuju “Orde Baru” Soeharto, propaganda Anti-Komunisme semakin bergulir. PKI
dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan sejumlah pendukungnya pun menjadi
tahanan politik. Chloe Pellegrini mencatat bahwa pada periode 1965 hingga 1966
sebanyak 750 ribu orang ditahan dengan tuduhan menjadi anggota PKI.[5]
Dari sekian banyak tahanan politik tersebut, hanya 800 orang (atau 0,1 persen)
yang diadili menurut proses hukum, sementara sebagian besar lainnya dijatuhi
hukuman mati. Sebagian lainnya tetap mendekam sebagai tahanan politik tanpa
proses hukum ataupun akses untuk mendapatkan representasi hukum. Hal ini
memperlihatkan mekanisme hukum yang tidak adil proses penahanan politik ini.
Walaupun terjadi pembebasan sejumlah tahanan politik pada periode tahun 1970an,
sebanyak 55 ribu hingga 100 ribu orang masih berada dalam detensi hingga tahun
1977.[6]
Tidak hanya secara politik, propaganda
Anti-Komunisme pun dilakukan dalam dimensi sosial dan budaya. Pada tahun 1984,
Pemerintah Indonesia merilis film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’.[7]
Film ini menggambarkan kekejaman peristiwa 30 September dengan PKI sebagai
dalang utamanya. Hingga tahun 1998, film ini menjadi tontonan yang
menggambarkan perspektif pemerintah dan sebagian besar masyarakat terhadap PKI
dan Komunisme. Narasi yang sama juga tersampaikan dalam monumen Kesaktian
Pancasila di kawasan Lubang Buaya, Jakarta. Relief dalam monument tersebu
menggambarkan pahlawan (Soeharto) yang dinarasikan menyelamatkan bangsa
Indonesia dari kekejaman (PKI). Tidak hanya itu, di depan relief tertera
tulisan, “Waspada…dan mawas diri agar
peristiwa sematjam ini tidak terulang lagi.”[8]
Lebih lanjut lagi, propaganda Anti-Komunisme ini juga dilakukan dengan cara
penahanan maupun pembatasan karya sejumlah seniman dan penulis Indonesia. Salah
satunya adalah penahanan Pramoedya Ananta Toer dan pelarangan penerbitan buku
Bumi Manusia dan tetralogi Buru lainnya.[9]
Di sisi lain, pembatasan dalam lingkungan perguruan tinggi melalui “Normalisasi
Kampus” yang dilakukan dengan pendekatan militer maupun politik untuk merespon
sejumlah aksi protes mahasiswa. “Bahaya Laten Komunisme” kemudian menjadi kata
kunci untuk menanggapi masalah kerusuhan maupun gejala pembangkangan dalam masa
pemerintahan Soeharto.
Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 kemudian
memberikan harapan baru bagi proses demokrasi Indonesia saat itu. Demokrasi
sendiri bukanlah barang baru dalam pemerintahan Indonesia. Adrian Vickers
mencatat bahwa pada masa awal terbentuknya republik ini, demokrasi menjadi
salah satu prioritas dalam pemerintahan.[10]
Pada awal masa pemerintahannya, Soekarno merumuskan Demokrasi Pancasila sebagai
bentuk pemerintahan Komunitarian dengan konsensus sebagai model pengambilan
keputusan.[11] Namun, kehadiran
Demokrasi Pancasila selama Orde Baru menjadi paradoks tersendiri. Secara
prosedural, Orde Baru telah menerapkan
beberapa prinsip demokrasi, antara lain dengan menyelenggarakan Pemilihan Umum
“Luber Jurdil” (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil). Namun, prinsip
kebebasan individu – kelompok dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan
menjadi ruang kosong yang hilang semasa Orde Baru.
Transisi era Orde Baru menuju era Reformasi
sering diidentikkan sebagai demokratisasi dalam pemerintahan Indonesia. Salah
satu indikator dari proses demokratisasi tersebut adalah munculnya partisipasi
masyarakat sipil sebagai bagian dari proses politik Indonesia. Hal ini ditandai
dengan kehadiran sejumlah NGO (Non-Governmental
Organizations) yang menangani sejumlah isu strategis pada masa awal
reformasi, yaitu Pemilu, tata kelola pemerintahan yang baik dan juga HAM. Dalam
tataran isu HAM, sejumlah NGO Indonesia, seperti YLBHI, PBHI, Kontras, Walhi
dan ELSAM memberikan tekanan pada
pemerintah untuk mengadili aparat militer yang terkait dengan kejahatan
kemanusiaan (crime against humanity).[12]
Selain itu sejumlah NGO yang berada di bawah koordinasi YAPPIKA mulai
menginisiasi gagasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Indonesia.
Dalam hal ini, era Reformasi menjadi suatu
periode yang prospektif pula terhadap proses keadilan transisional peristiwa
pembunuhan massal yang terjadi sepanjang tahun 1965 hingga 1966. Keadilan
transisional yang dimaksud adalah mekanisme hukum internasional maupun proses
rekonsiliasi. Rekonsiliasi sendiri dimaknai sebagai sebuah sistem dan
pendekatan holistik yang menekankan pada dinamika hubungan dalam konflik yang
pernah terjadi. Menurut Charles Lerche, proses rekonsiliasi memiliki tiga unsur
utama, yaitu pengakuan (acknowledgement),
perasaan bersalah dan penyesalan (contrition),
dan kesediaan untuk memaafkan (forgiveness).[13]
Tidak hanya melalui inisiatif NGO, tumbuhnya demokrasi di Indonesia ke arah
yang lebih partisipatif turut menghadirkan inisiatif-inisiatif masyarakat
sipil, khususnya dalam penanganan isu HAM, termasuk pengungkapan kebenaran
dalam pembunuhan massal 1965/1966.
Demokrasi
Partisipatif dan Masyarakat Sipil
Demokrasi merupakan sistem
pemerintahan yang tidak hanya menekankan pada aspek keterwakilan, namun juga
partisipasi dan perlindungan individu – kelompok. Dalam hal ini, kontrak sosial
(social contract) merupakan salah
satu gagasan utama demokrasi. Dipengaruhi oleh periode Revolusi Prancis,
Jean-Jacques Rousseau mengembangkan gagasan kontrak sosial yang menitikberatkan
pada adanya kontrak masyarakat yang menyatukan kekuatannya ke dalam sebuah
badan yang lebih kuat yang juga memerintah berdasarkan aspirasi masyarakat.[14]
Terminologi “kontrak” dalam gagasan ini mengandung arti adanya komitmen di
dalam sebuah asosiasi “the sovereign”
yang memberikan hak dan tanggung jawab dari dan untuk masyarakat. “The sovereign” kemudian diterjemahkan
sebagai badan publik, atau sebuah republik. Lebih lanjut lagi, proses pemilihan
umum menjadi salah satu elemen utama dalam gagasan kontrak sosial. Pemilu tidak
hanya berfungsi sebagai mesin politik negara, namun juga sebagai cara untuk
menegakkan keadilan dan melindungi kontrak sosial itu sendiri.[15]
Dalam kaitannya dengan partisipasi
masyarakat, gagasan kontrak sosial tidak semata membebaskan peran masyarakat.
Dalam negara-negara dengan sistem demokrasi yang kuat, kontrak sosial berperan
memberikan legitimasi ketergantungan masyarakat terhadap negara melalui
kewarganegaraa (citizenship) dan
kebebasan politik (political freedom).[16]
Adanya partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi dipaparkan Rousseau
sebagai “democratic community”. Dalam
gagasan tersebut, partisipasi masyarakat bertujuan mengawasi maupun
mengembangkan pemikiran-pemikiran yang ada dalam politik negara. Menyoal
partisipasi masyarakat sipil, Rollin F. Tusalem memaparkan peran masyarakat sipil
dalam proses transisi demokrasi.[17]
Dalam risetnya mengenai 60 negara yang telah mengalami transisi sistem
pemerintahan dari sistem otoritarian atau komunis, masyarakat sipil memiliki
peran dalam peningkatan performa pemerintahan di negara-negara tersebut. Dalam
hal ini, masyarakat sipil dimaknai sebagai organisasi sosial yang memiliki
sifat terbuka, sukarela, self generating,
self supporting, bersifat otonom dari
negara dan terikat oleh aturan-aturan koletif yang legal.[18]
Dua argumen utama Tusalem adalah negara-negara yang memiliki kelompok
masyarakat sipil dengan keanggotaan yang kuat akan mengalami penguatan tingkat
kebebasan politik dan sipil. Selanjutnya, adanya partisipasi masyarakat sipil
akan turut berdampak pada peningkatan kapasitas negara, yang dapat diukur
melalui beberapa dimensi, antara lain stabilitas politik dan kualitas produk
hukum.[19]
Dalam proses transisi ini, masyarakat sipil yang terbentuk pun memiliki
karakter beragam, yaitu masyarakat yang kuat, moderat, dan lemah atau tidak
hadir sama sekali. Sebagai kesimpulannya, Tusalem membuktikan argumennya bahwa
kehadiran dan dan perluasan masyarakat sipil dalam sebuah negara mampu meningkatkan
kebebasan politik serta meningkatkan performa negara. Namun, hal ini juga tidak
lepas dari kapasitas institusi negara itu sendiri dan faktor jejaring
internasional yang mendukungnya.
Keadilan Transisional (Transitional Justice)
Keadilan transisional merupakan salah satu pendekatan yang menjadi
tonggak sejumlah pergerakan HAM, yaitu respon hukum untuk menghadapi tindakan
represif pada rezim pemerintahan sebelumnya.[20]
Pendekatan ini menitikberatkan adanya proses hukum internasional untuk mengusut
genosida, kejahatan perang, maupun kejahatan kemanusiaan.[21]
Perkembangan konsep ini kemudian tidak hanya menyentuh aspek hukum, namun juga
meliputi adanya penyelesaian dan perbaikan nama baik, pembentukan komisi
kebenaran, serta inisiatif politik dan sosial untuk proses penelurusan fakta,
rekonsiliasi dan konstruksi budaya baru.[22]
Dalam praktiknya, konsepsi keadilan
transisional terdiri atas empat mekanisme utama, yaitu penelusuran kebenaran,
proses hukum, reparations, dan Security Sector Reform (SSR).[23]
Proses penelusuran kebenaran bertujuan mengumpulkan informasi sebagai
bentuk pengakuan publik terhadap penyebab dan akibat pelanggaran HAM. Dalam hal
ini, proses penelusuran kebenaran dapat dilakukan melalui badan resmi maupun
non-resmi, baik melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun melalui
dokumentasi. Kehadiran KKR menjadi salah satu mekanisme untuk menghadirkan
akuntabilitas dalam keadilan transisional. Menurut Martina Fischer, mekanisme
KKR dalam masyarakat dapat terdiri atas proses penelusuran dan pengungkapan
kebenaran.[24]
Dalam hal ini, KKR diharapkan dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat ke
dalam dialog nasional untuk melihat akar konflik dan alternatif
penyelesaiannya. Oleh karena itu, inisiatif masyarakat sipil dan kerjasama
domestik maupun internasional menjadi salah satu elemen penting dalam KKR. Sementara itu, proses hukum dalam keadilan transisional bertujuan menghadirkan
mekanisme akuntabilitas sekaligus pertanggungjawaban serta mencegah terjadinya
pelanggaran HAM berikutnya.[25]
Mekanisme akuntabilitas diperlihatkan dalam beberapa kasus dalam pengadilan HAM
internasional, yaitu adanya tuntutan masyarakat sipil terhadap negara sebagai
pelaku pelanggaran. Dalam hal ini, pemberian amnesti maupun bentuk impunitas
lainnya sebaiknya dilakukan secara parsial ataupun menurut kondisi tertentu. Selanjutnya, aspek reparations dalam kerangka
keadilan transisional mencakup adanya upaya mengakui penderitaan dan
konsekuensi dari pelanggaran HAM. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya
material maupun simbolik yang diberikan kepada korban pelanggaran HAM, baik
melalui kompensasi finansial, maupun permintaan maaf secara resmi. Lebih lanjut
lagi, aspek SSR menitikberatkan adanya transformasi militer, polisi dan
institusi yang lebih berintegritas dan menekankan pada pelayanan publik.
Respon
Negara dalam Proses Rekonsiliasi 1965/1966
Runtuhnya Orde Baru pada tahun
1998 menandai dimulainya proses demokratisasi di Indonesia. Periode transisi
dari rezim otoritarian Soeharto menuju rezim yang lebih demokratis tentu
memiliki sejumlah hambatan dan tantangan. KontraS dan International Center for Transitional Justice (ICTJ) memaparkan
adanya tiga fase dalam proses demokrasi Indonesia pasca 1998. Fase pertama
merupakan fase momentous change (1998 – 2000) yang ditandai dengan adanya
konflik dan kekerasan dalam sejumlah wilayah Indonesia, namun juga disertai
dengan mulai adanya komitmen politik dari pemerintah dalam isu keadilan
transisional. Pada tahun 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan
TAP MPR IV 1999[26]
yang salah satu resolusinya menitikberatkan pada adanya pelanggaran HAM dalam
rezim Orde Baru yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan penyalahgunaan
kekuasaan. Lebih lanjut lagi, pada tahun 2000 MPR kemudian mengeluarkan Resolusi
Penguatan Kesatuan dan Integritas Nasional, yang bertujuan mengakui sejumlah
pelanggaran HAM di masa lampau dan rencana dibentuknya KKR.[27]
Dalam mekanisme tingkat nasional,
Pemerintah Indonesia saat itu menerbitkan dua legislasi terkait HAM, yaitu UU nomor
39 tahun 1999 dan UU nomor 26 tahun 2000. UU nomor 39 tahun 1999 secara khusus
memaparkan kewajiban negara untuk melindungi dan memajukan HAM sesuai yang
tertera dalam mekanisme hukum internasional. Kewajiban negara ini juga termasuk
melakukan investigasi, menuntut dan menyediakan proses reparasi apabila HAM
tersebut dilanggar.[28]
Sementara itu, UU nomor 26 tahun 2000 menyediakan landasan hak reparasi bagi
para korban pelanggaran HAM, yaitu mendapatkan kompensasi, ganti rugi maupun
rehabilitasi. Fase momentous
change ini juga ditandai dengan pembebasan sebanyak lebih dari satu juta
tahanan politik terkait peristiwa 1965/1966. Selain itu, dalam periode ini
Presiden Habibie mengeluarkan UU nomor 3 tahun 1999 yang memberikan hak untuk
memilih bagi para mantan tahanan politik. Selanjutnya, pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, dikeluarkan Instruksi Presiden
nomor 1 tahun 2000 mengenai kebijakan negara untuk memfasilitasi perjalanan kembali sejumlah
ex-tahanan politik yang melarikan diri keluar negeri pasca 1965. Akan tetapi, hingga
masa pemerintahan Presiden Wahid berakhir, belum ada upaya nyata pemerintah
terkait instruksi ini.[29]
Selanjutnya, fase kedua dalam proses
demokrasi Indonesia diidentikkan dengan adanya compromised mechanism
(2001 – 2006). Salah satu “kompromi” yang terjadi dalam periode ini adalah
ketika Mahkamah Konstitusi (MK) menolak kembali legislasi yang melandasi
dibentuknya KKR. Hal ini didasarkan pada adanya perdebatan yang terjadi antara
sejumlah NGO dengan kelompok religius garis keras yang menghambat mekanisme
akuntabilitas dalam pengungkapan kebenaran peristiwa 1965/1966. Namun,
pencapaian lain proses demokrasi fase ini terlihat dalam kurikulum pendidikan
Indonesia. Pada tahun 2001, Departemen Pendidikan RI mengganti kurikulum
belajar tahun 1994 dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).[30]
Berbeda dengan kurikulum sebelumnya yang menitikberatkan buku ajar sebagai
materi utama, KBK mendorong siswa dan pengajar untuk lebih aktif terlibat dalam
diskusi dan proyek kerja. Sebagai implikasinya, diskusi mengenai peristiwa 1965
dan dugaan keterlibatan PKI serta aktor lain di baliknya semakin mengemuka. Hal
ini berbeda dengan diskursus yang beredar selama Orde Baru bahwa PKI merupakan
dalang utama dari peristiwa 30 September 1965.[31]
Lebih lanjut lagi, pada tahun 2003 Departemen Pendidikan mengeluarkan UU nomor
20 tahun 2003 yang mendorong sejumlah perubahan dalam buku ajar sekolah, yaitu
pehapusan “PKI” dalam terminologi G30S.[32]
Kembalinya sejumlah mantan petinggi
militer dalam politik nasional Indonesia mewarnai proses demokrasi fase ketiga
di Indonesia, yaitu stalled reform (2006 – 2011).[33]
Hadirnya para “wajah lama” dalam pemerintah memengaruhi proses penegakan HAM di
negeri ini. Sebagai contoh, kendati Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) telah
melakukan penyelidikan dan melakukan investigasi secara resmi, pengadilan
pelanggaran HAM belum pernah dilaksanakan.[34]
Resistensi sejumlah bagian pemerintah dalam mekanisme ini ditunjukkan dengan
penolakan Kejaksaan Agung sebagai pihak yang bertanggung jawab menuntut pelaku
kejahatan, untuk mengikuti rekomendasi dari Komnas HAM. Di lain pihak, Komis
Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) bersama kelompok perempuan korban 1965
yang berasal dari daerah Poso, Aceh dan Papua menerbitkan sejumlah dokumen
negara yang memaparkan kejahatan dalam perspektif gender.[35]
Dinamika proses demokrasi dan
rekonsiliasi 1965/1966 di Indonesia pasca tahun 1998 masih menunjukkan
pengingkaran negara dalam beberapa aspek. Stanley Cohen mengungkapkan terdapat
tiga pola pengingkaran negara (denial)
dalam menghadapi tuduhan tindak kekerasan maupun kejahatan kemanusiaan.[36]
Pertama, adanya “literal denial”
sebagai bentuk pengingkaran negara bahwa kekerasan maupun kejahatan yang
dilakukan tidak benar terjadi. Pola ini biasanya terjadi dalam rezim otoriter
yang sangat membatasi akses media dan kebebasan berpendapat. Model pengingkaran
negara kedua adalan “interpretative
denial” yang mengakui sejumlah bukti parsial mengenai pelanggaran HAM yang
terjadi, namun juga menyediakan interpretasi lain terhadap fakta-fakta yang
ada. Selanjutnya, pola pengingkaran ketiga adalah “implicatory denial”. Pada pola ini, negara mengakui keterlibatannya
dalam sejumlah pelanggaran HAM, yang dilakukan dengan alasan rasionalisasi
tindakan dalam masa darurat politik.
Terkait dengan respon pemerintah
pasca Orde Baru dalam proses rekonsiliasi peristiwa 1965/1966, pola
pengingkaran yang terjadi adalah “interpretative
denial”. Dalam beberapa aspek, negara telah menunjukkan inisiatifnya untuk
pengungkapan kebenaran. Namun, resistensi justru muncul dari sejumlah mantan
dan elit politik yang memiliki keterkaitan dengan peristiwa tersebut. Dalam hal
ini transisi dalam pemerintahan Indonesia memberikan tantangan sekaligus
hambatan dalam proses keadilan transisional peristiwa 1965/1966. Euforia
demokrasi pada awalnya disikapi dengan sejumlah legislasi yang mencoba untuk
mengakomodasi pengungkapan kebenaran. Namun kembalinya sejumlah mantan petinggi
militer Orde Baru dalam pemerintahan dan kondisi politik Indonesia yang
mengalami sejumlah gejolak dalam masa transisi menghadirkan hambatan tersendiri
dalam pengungkapan kebenaran peristiwa 1965/1966.
Inisiatif
Masyarakat Sipil dalam Proses Keadilan Transisional 1965/1966
Peristiwa pembunuhan massal yang
terjadi sepanjang tahun 1965 hingga 1966 menyiratkan adanya ketakutan akan
perpecahan bangsa dalam masyarakat. Jumlah korban yang masif pun akhirnya
menghasilkan masyarakat yang cenderung dibungkam dan takut akan perubahan
politik.[37]
Oleh karena itu, terbukanya akses informasi dan kebebasan berpendapat pasca
tumbangnya Orde Baru turut mendorong berbagai inisiatif masyarakat sipil dalam
proses rekonsiliasi peristiwa 1965/1966. Dalam hal ini, inisiatif tidak hanya
muncul di tataran NGO, namun juga inisiatif lokal hingga internasional.
Salah satu aspirasi masyarakat sipil
dalam proses keadilan transisional 1965/1966 adalah pembentukan KKR. Wacana ini
segera berkembang menjadi diskusi di antara NGO, pergerakan masyarakat sipil,
akademisi HAM serta korban dan komunitas lokal untuk mengambil inisiatif di
tingkat lokal maupun nasional. ELSAM, merupakan salah satu NGO yang mengajukan
proposal UU mengenai KKR hingga wacana ini terus mewarnai perdebatan di
parlemen sepanjang tahun 2000 hingga 2004.[38]
Perdebatan yang muncul dalam upaya pengesahan legislasi ini adalah mengenai
esensi KKR sebagai media pengungkap kebenaran atau justru sebagai fasilitator
pemberian impunitas terhadap pelaku pelanggaran. Perdebatan ini akhirnya
mencapai titik temu dengan dikeluarkannya UU nomor 27 tahun 2004 mengenai KKR
pada 6 Oktober 2004. Akan tetapi, legislasi ini masih memiliki sejumlah celah,
yaitu kewenangan KKR untuk memberikan rekomendasi amnesti apabila permasalahan
pelanggaran tidak dapat dibawa ke pengadilan HAM.[39]
Sejumlah koalisi pergerakan masyarakat sipil pun secara intens melakukan
advokasi undang-undang ini dan mengajukan judicial review kepada MK. Namun,
keputusan yang diambil oleh MK justru sangat mengejutkan, yaitu menganulir
seluruh undang-undang, karena perubahan dalam salah satu pasal akan mengubah
esensi seluruh UU nomor 27 tahun 2004. Selanjutnya, hingga saat ini sejumlah
koalisi masyarakat sipil secara aktif melakukan diskusi serta penelitian
terkait absennya proses penindaklanjutan pembentukan undang-undang pengganti.
Selain aspirasi pembentukan KKR,
sejumlah koalisi pergerakan masyarakat sipil lainnya lebih mengdepankan urgensi
pendekatan hukum dalam proses keadilan transisional. Dalam aspirasi ini,
KontraS, Tapol serta sejumlah inisiatif lokal lainnya menjadi tonggak berbagai
investigasi dan konsolidasi korban. Dalam melakukan advokasi terhadap
penyelesaian hukum kasus 1965/1966, pergerakan masyarakat sipil menuntut segera
diterbitkannya laporan resmi pelanggaran HAM di sejumlah daerah Indonesia oleh
Komnas HAM. Oleh karena itu, monitoring secara intensif proses implementasi dan
investigasi tim laporan menjadi agenda utama. Menurut Indria Fernida, strategi
yang digunakan pergerakan masyarakat sipil saat itu, terutama KontraS adalah
dengan dua strategi utama. Pertama, mengumpulkan kelompok-kelompok korban dari
seluruh penjuru Indonesia untuk memberikan testimoni dan memfasilitasi dialog
dengan tim Komnas HAM. Kedua, masyarakat sipil juga melakukan monitoring pelaksanaan investigasi
melalui diskusi terbuka, demonstrasi dengan korban dan membuat sejumlah
pernyataan terbuka. Lebih lanjut lagi, jejaring solidaritas regional maupun
internasional juga menjadi bagian penting dalam inisiatif ini. Beberapa
jejaring yang dijalin, di antara lain adalah dengan ICTJ, Amnesty International, dan AHRC dan lainnya. Sebagai hasilnya, pada
tahun 2012 Komnas HAM menerbitkan laporan resmi terkait pelanggaran HAM terhadap
anggota maupun “mereka yang diduga sebagai anggota” PKI. Laporan ini memaparkan
investigasi Komnas HAM selama empat tahun di Maumere, Maluku, Sumatra Selatan
dan Sumatra Utara.[40]
Tidak hanya pembunuhan massal, Komnas HAM juga mengungkapkan bentuk pelanggaran
HAM lainnya, yaitu kerja paksa, pemerkosaan hingga penghilangan paksa. Oleh
karena itu, salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah penggolongan
pelanggaran HAM ini sebagai kejahatan kemanusiaan (“crime against humanity”) dalam kerangka hukum internasional yang
didasarkan pada preseden sebelumnya di Yugoslavia dan Rwanda.
Masih di tingkat nasional, salah
satu inisiatif yang cukup signifikan adalah pembentukan Komisi Keadilan dan
Pengungkapan Kebenaran (KKPK) pada tahun 2008. Hingga tahun 2014, komisi ini
terdiri atas 47 NGO nasional dan lokal, kelompok korban, serta para aktivis HAM
Indonesia.[41]
Salah satu aktivitas KKPK adalah melakukan hearing
secara regional untuk menelusuri kebenaran di sejumlah daerah, antara lain Jawa
Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah, Aceh dan Papua. Selain
pemberian testimoni, proses hearing
ini juga menjadi refleksi bagi Majelis Warga untuk semakin memperjuangkan hak
konstitusional, menyebarkan kesadaran masyarakat akan pelanggaran HAM, dan
memberikan tekanan kepada pemerintah untuk menetapkan mekanisme resmi peradilan
dan pengungkapan kebenaran. Bentuk lain aktivitas koalisi ini adalah mengadakan
festival budaya di sejumlah universitas dan melakukan dialog dengan badan
pemerintah untuk semakin mendorong keterlibatan masyarakat.
Di tingkat lokal, sejumlah mekanisme
dialog dilakukan sebagai bentuk dukungan. Salah satunya adalan dibentuknya
Syarikat di Jogjakarta pada tahun 2000 oleh sejumlah aktivis pemuda Nahdlatul
Ulama (NU).[42]
Organisasi Syarikat bergerak dalam kerangka jejaring gerakan akar rumput (grassroots) di dalam NU sehingga sebagian besar anggotanya merupakan
siswa pesantren. Salah satu inspirasi dibentuknya organisasi ini adalah gagasan pemimpin NU yang juga Presiden ke-4 Indonesia, yaitu
Abdurrahman Wahid. Dalam masa awal jabatannya, Presiden Wahid secara publik
mengutarakan permintaan maafnya atas keterlibatan organisasi afiliasi NU dalam peristiwa 1965/1966. Dalam iklim politik tersebut, Syarikat kemudian
terbentuk sebagai organisasi dengan rekonsiliasi sebagai inisiatif utama. Berbagai
aktivitas yang dilakukan Syarikat adalah mengadakan workshop, pameran, diskusi hingga pembuatan film dalam kerangka
sejarah 1965/1966. Salah satu inisiatif Syarikat dalam proses rekonsiliasi
1965/1966 adalah menerbitkan jurnal Ruas dan menginisiasi film “Kado untuk Ibu”
yang diputar bertepatan pada Hari Kartini, 21 April 2006. Film “Kado untuk Ibu”
merupakan kisah dokumenter empat perempuan korban penahanan paksa pada tahun
1965, yaitu Putmainah, Sumilah, Fatmiati dan Surmarmiyati. Aktivitas keempat
perempuan tersebut dalam Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Dalam hal
ini, inisiatif-inisiatif yang digagas oleh Syarikat bertujuan menghapus
prasangka dalam masyarakat serta membangun hubungan
baru untuk membuka langkah proses rekonsiliasi.
Selain Syarikat, inisiatif
masyarakat lokal lainnya yang muncul adalah dibentuknya Solidaritas Korban
Pelanggaran HAM (SKP HAM) di Palu pada tahun 2013. Inisiatif ini juga didukung oleh
Peraturan Walikota Palu (Perwali) nomor 25 tahun 2013 mengenai Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia Daerah.[43]
Peraturan ini berisi 17 pasal yang bertujuan meningkatkan penghormatan,
pemajuan, pemenuhan, perlindungan dan penegakan HAM. Dalam pelaksanaannya, SKP
HAM menjunjung prinsip “rekonsiliasi lingkungan” untuk mencapai keadilan, salah
satunya melalui Diskusi Kampung.[44] Diskusi
tersebut melibatkan sejumlah elemen masyarakat, seperti tokoh adat dan tokoh
religius setempat. Selain itu, Pemerintah Daerah Palu juga melakukan sejumlah
inisiatif lain, yaitu memberikan jaminan kesehatan, kesempatan kerja hingga
beasiswa kepada keluarga korban peristiwa 1965/1966.
Dalam diskursus internasional, film
“The Act of Killing (Jagal)” dan “The Look of Silence (Senyap)” menjadi
salah satu titik tolak dalam membentuk wacana atas sejarah peristiwa 1965/1966
di Indonesia. Film “The Act of Killing”
(2012) memotret peristiwa 1965/1966 dari perspektif para pelaku kejahatan.
Narasi dan dialog sejumlah tokoh utama film mengisyaratkan adanya pembenaran
sejumlah peristiwa pembunuhan massal pada periode 1965 hingga 1966. Oleh karena
itu, aspek penyesalan dalam proses rekonsiliasi masih harus menempuh jalan yang
panjang. Sementara itu, film “The Look of
Silence” (2014) menarasikan kisah keluarga yang berusaha menelusuri
kebenaran dari peristiwa 1965/1966. Film ini juga menyiratkan adanya
kesalahpahaman sejarah yang masih banyak dijumpai dalam pendidikan dasar,
terutama narasi pengajaran bahwa PKI merupakan aktor kejam dalam peristiwa
G30S. Kedua film yang berlatar di Sumatra Utara ini didukung penuh oleh Komnas
HAM. Film “The Act of Killing”
mendapatkan respon positif dari dunia internasional, salah satunya menjadi
salah satu nominasi Film Dokumenter Terbaik dalam Academy Award pada tahun 2013. Walaupun demikian, larangan
pemutaran film oleh Pemerintah Indonesia masih terjadi.[45]
Lebih lanjut lagi, pada pemutaran film “The
Act of Killing” di hadapan sejumlah anggota Kongres Amerika Serikat,
sutradara Joshua Oppenheimer menuntut pengakuan keterlibatan AS atas peristiwa
1965/1966 di Indonesia.
Kesimpulan
Proses demokrasi yang terjadi pasca Orde
Baru memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap permasalahan HAM di
Indonesia, termasuk dalam proses keadilan transisional peristiwa 1965/1966.
Adanya transisi pemerintahan dari rezim otoriter menuju rezim yang lebih
demokratis memberikan kesempatan bagi masyarakat sipil untuk turut
berkontribusi dalam pengambilan keputusan maupun inisiatif kebijakan
non-pemerintah. Dalam hal ini, model demokrasi Indonesia sedang berada dalam
periode menuju demokrasi yang lebih partisipatif. Keterbukaan informasi dan
akses media membuka ruang bagi masyarakat sipil untuk menyingkap kebenaran
peristiwa 1965/1966. Hal ini mustahil dilakukan pada saat rezim Soeharto
berkuasa, yaitu ketika demokrasi masih bersifat prosedural semu semata.
Namun, proses transisi Indonesia menuju pemerintahan yang lebih demokratis – partisipatif juga memiliki sejumlah tantangan. Adanya euforia demokrasi pada masa awal Reformasi mendorong disahkannya sejumlah instrumen hukum terkait HAM. Namun, kembalinya sejumlah mantan petinggi militer ke dalam pemerintahan menjadi tantangan tersendiri bagi proses keadilan transisional 1965/1966. Dalam kerangka ini, proses hukum menuju Mahkamah Kejahatan Internasional masih menjadi jalan berliku bagi Indonesia. Namun, adanya mekanisme rekonsiliasi melalui dialog, film, maupun pendidikan menjadi langkah prospektif dalam proses rekonsiliasi maupun pengungkapan kebenaran peristiwa 1965/1966. Inisiatif-inisiatif yang digagas masyarakat sipil, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional memperlihatkan adanya upaya melakukan konstruksi ulang atas sejarah yang selama puluhan tahun telah dibelokkan kebenarannya.
Namun, proses transisi Indonesia menuju pemerintahan yang lebih demokratis – partisipatif juga memiliki sejumlah tantangan. Adanya euforia demokrasi pada masa awal Reformasi mendorong disahkannya sejumlah instrumen hukum terkait HAM. Namun, kembalinya sejumlah mantan petinggi militer ke dalam pemerintahan menjadi tantangan tersendiri bagi proses keadilan transisional 1965/1966. Dalam kerangka ini, proses hukum menuju Mahkamah Kejahatan Internasional masih menjadi jalan berliku bagi Indonesia. Namun, adanya mekanisme rekonsiliasi melalui dialog, film, maupun pendidikan menjadi langkah prospektif dalam proses rekonsiliasi maupun pengungkapan kebenaran peristiwa 1965/1966. Inisiatif-inisiatif yang digagas masyarakat sipil, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional memperlihatkan adanya upaya melakukan konstruksi ulang atas sejarah yang selama puluhan tahun telah dibelokkan kebenarannya.
*Tulisan ini adalah artikel UAS Demokrasi dan HAM T.A 2014 yang telah diedit seperlunya.
[1] Adam Schwarz, Indonesia: A Nation in Waiting (2nd Edition), Colorado,
USA: Westview Press, (2000), hlm. 12
[2] Adrian Vickers, A History of Modern of Indonesia, UK: Cambridge University Press, (2005),
hlm. 153
[4] Ibid.
[5] Chloe Pellegrini, Indonesia’s unresolved mass murders:
undermining democracy, Publikasi Tapol, (26 September 2012), hlm. 7
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto,
Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia & Hasan Mitra, (2008), hlm. 10
[9] Bumi Manusia dan Tetralogi Buru
(Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) merupakan buku karya
Pramoedya Ananta Toer yang sebagian besar dikerjakan dalam masa tahanan
politiknya di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Buku tersebut menarasikan semangat
nasionalisme Minke, seorang asli Indonesia.
[10] Vickers, Op. Cit., hlm. 106
[11] Schwarz, Op. Cit., hlm. 292
[12] Aleksius Jemadu, “Transnational
activism and the pursuit of democratization in Indonesia: National, regional
and global networks”, dalam Nicola Piper & Anders Uhlin (Eds.), Transnational Activism in Asia: Problems of Power and Democracy,
London & New York: Routledge, (2004), hlm.
[13] Charles, Lerche, (2000), “Peace
Building Through Reconciliation”, International
Jurnal of Peace Studies, Vol. 5 No. 2. Autum Winter
[14] Jean-Jacques Rousseau, “The Social Contract”,
dalam Robert Dahl, Ian Saphiro, Jose Antonio Cheibub, The Democracy Sourcebook, London: The MIT Press, (2003), hlm. 1
[15] Ibid.,
pp. 4
[16] Benjamin Barber, Strong Democracy: Participatory Politics for
a New Age (Twentieth Anniversary Edition), Berkeley, Los Angeles &
London: University of California Press, (2003), hlm. 216
[17] Rollin F. Tusalem, (2007) “A
Boon or a Bane? The Role of Civil Society in Third and Fourth Wave
Democracies”, International Political
Science Review / Revue Internationale de Science Politique, Vol. 28, No. 3
(Jun. 2007)
[18] Ibid., hlm. 364
[19] Ibid., hlm. 368
[20] Elin Skaar, “Reconciliation in a
Transitional Justice Perspective”, Transitional
Justice Review: Vol. 1: Iss. 1, Article 10, (2013), hlm.
[21] Menurut Mahkamah Kejahatan
Internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)
merupakan tindakan kejahatan terhadap populasi masyarakat sipil yang bersifat
luas dan sistematis. Bentuk-bentuknya, antara lain adalah penyiksaan, pembunuhan,
pemerkosaan dan kerja paksa. (Sumber ICC, “What are crime against humanity?”,
(n.d), http://www.icc-cpi.int/en_menus/icc/about%20the%20court/frequently%20asked%20questions/Pages/12.aspx, diakses pada 17 Desember 2014,
pukul 13.38 WIB)
[22] Martina Fischer, “Transitional
Justice and Reconciliation: Theory and Practice”, B. Austin, M. Fischer, H. J.
Giessmann (Eds.), Advancing Conflict Transformation: The Berghof
Handbook II, Barbara
Budrich Publishers, Opladen/Framington Hills, (2011), hlm. 407
[23] ICTJ & Kontras, “Derailed:
Transitional Justice in Indonesia since the Fall of Soeharto”, A Joint Report ICTJ & KontraS,
(Maret 2011), hlm. 9
[24] Fischer, Op. Cit., hlm. 410
[25] ICTJ & Kontras, Op. Cit.
[26] TAP MPR IV tahun 1999 berisi
rencana kebijakan Pemerintah Indonesia selama lima tahun ke depan.
[27] Dalam hal ini, KKR direncanakan
akan diberikan mandar untuk menelusuri penyalahgunaan kekuasaan, investigasi
pelanggaran HAM dan melakukan program rekonsiliasi. Dalam kerangka proses
penelusuran kebenaran, rencana pembentukan KKR diharapkan mampu memfasilitasi
pengakuan kesalahan, penegakan hukum, amnesti dan rehabilitasi.
[28] Teresa Birks, “Neglected Duty:
Providing Comprehensive Reparations to the Indonesian “1965 Victims” of State
Prosecution”, ICTJ Occasional Paper
Series, (July 2006), hlm. 3
[29] Indria Fernida, “Calling for
truth about mass killings 1965/6: Civil society initiatives in revaling the
truth of mass killings of 1965/6 under the transitional justice framework in
Indonesia”, Thesis Faculty of Law,
University of Oslo, (Agustus 2014), hlm. 22-29
[30] Grace Leksana, “Reconciliation
through history education: Reconstructing the social memory of the 1965-66
violence in Indonesia”, Brigit Brauchler (Eds.),
Reconciling Indonesia: Grassroots Agency
for Peace, London & New York: Routledge, (2009), hlm. 184
[31] Roosa, Op. Cit., hlm. 293
[32] Leksana, Op. Cit., hlm. 188
[33] ICTJ & Kontras, Op. Cit., hlm. 14
[34] Fernida, Op. Cit., hlm. 23
[35] ICTJ & Kontras, Op. Cit., hlm. 14
[37] Schwarz, Op. Cit., hlm. 295
[38] Fernida, Op. Cit., hlm. 33
[39] Hal ini tercantum pada pasal 29
UU nomor 27 tahun 2004
[40] Pellegrini, Op. Cit., hlm. 13
[41] Fernida, Op. Cit., hlm. 43
[42] Priyambudi Sulistiyanto &
Rumensi Setyadi, “Civil Society and Grassroots Reconciliation in Central Java”,
Brigit Brauchler (Eds.), Reconciling Indonesia: Grassroots Agency for
Peace, London & New York: Routledge, (2009), hlm. 197
[43] ELSAM, “Pelanggaran HAM Masa
Lalu – Perwali Palu: Inisiatif Lokal untuk Para Korban Pelanggaran HAM”,
(2013), http://www.elsam.or.id/mobileweb/article.php?id=2990&lang=in, diakses pada 16 Desember 2014,
pukul 13.09 WIB
[44] Fernida, Op. Cit., hlm. 40
[45] Joe Cochrane, “’Act of Killing’
Film Fails to Stir Indonesia”, (1 Maret 2014), http://www.nytimes.com/2014/03/02/world/asia/act-of-killing-film-fails-to-stir-indonesia.html, diakses pada 16 Desember 2014,
pukul 13.11 WIB
Comments
Ini sebuah tulisan yang cukup komprehensip. Namun, ada satu hal yang kiranya mesti sedikit dikoreksi. Di sana dirimu menulis demikian:
"Selain Syarikat, inisiatif masyarakat lokal lainnya yang muncul adalah dibentuknya Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP HAM) di Palu pada tahun 2013. Inisiatif ini juga didukung oleh Peraturan Walikota Palu (Perwali) nomor 25 tahun 2013 mengenai Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah."
SKP-HAM Sulteng dibentuk pada tahun 2004, tepatnya 13 Oktober 2004. Beberapa hal yang berkenaan dengan SKP-HAM Sulteng bisa ditengok di situs kami
www.skp-ham.org
Adapun untuk Perwali Palu No. 25/2013 yang menjadi inisiatif lokal itu, sedikit mengenai prosesnya bisa dibaca di tauran berikut:
http://www.skp-ham.org/588/peraturan-walikota-palu-bagi-korban-peristiwa-1965-jalan-terjal-inisiatif-lokal/
Itu saja koreksinya.
Terima kasih.
Salam,
SKP-HAM Sulteng
Mohon maaf atas kekeliruannya dan terima kasih untuk koreksinya.
Salam,
Sinta.