Tahu Tek Pak Haji
Kalau ke Surabaya, mampirlah ke Tahu Tek Pak Haji
Sudah puluhan tahun, bangunannya tetap bersahaja berdiri
Tahu, lontong dan tauge, disiram bumbu petis yang mesti
Boleh ditambah telur, asal jangan lupa tambah piti
Begitu katanya Uda Sam, kawan kita dulu di sini.
Tahu Tek Pak Haji memang tiada duanya
Bukan cuma tahunya yang tidak asam, bumbu petisnya selalu juara
Pak Haji selalu tampil dengan pakaian khasnya: peci dan batik Madura
Dengan lincah, dipotongnya tahu dengan gunting andalannya
"Ceklik, ceklik, ceklik", begitu bunyinya.
Malam ini, seperti biasanya, Tahu Tek Pak Haji tak pernah sepi
Kulihat Pak Haji tak ada, rupanya anaknya yang bertugas: Cak Amri
Di antara kerumunan orang-orang, aku duduk menanti
Seorang kawan, tujuh tahun yang lalu kutemui di sini
Ingin nostalgia sejenak sekaligus meracau dengan memori.
Tak lama menunggu, datang juga dia
Dengan kaos dan celana pendek, masih sama saja gayanya
"Kalau kamu sudah jadi anak metropolitan ya", begitu kelakarnya
Kami pun tertawa, seperti dulu ketika masih mahasiswa
Berbicara tentang hidup: musik atau buku yang kita baca.
"Uda Sam sudah menikah, pulang kampung ke Bukittinggi"
Aku sedikit kaget dan mengernyitkan dahi
"Dulu padahal katanya kalau umur 35 baru mau beristri"
Uda Sam memang tak bisa ditebak, namanya juga pekerja seni
"Cuma rasa tahu tek Pak Haji yang selalu pasti."
"Bagaimana kabar Jakarta?", dia bertanya
Riuh baru selesai Pilkada, jawabku sekenanya
"Kalau aku masih begini-begini saja", ujarnya padahal tak ditanya
Aku ingat sekali topik wajib obrolan kami dulu: menjadi dewasa
"Jangan mau hidup seperti robot", aku mengerti benar sindirannya.
"Masih menulis?", dia bertanya lagi
Aku menggeleng pelan, dulu bagiku menulis itu impian yang merangkap hobi
"Jangan terlalu sibuk cari uang, ingat dulu punya mimpi"
Ah, tapi bagiku menjadi dewasa sekarang adalah menjadi mandiri
"Ternyata manusia itu pasti berubah ya", ujarnya ke diri sendiri.
Sekelebat ingatanku kembali ketika masih mahasiswa
Ingin punya kedai teh; tempat cangkruk sekaligus ruang baca
"Kedai kopi sudah biasa, padahal teh juga banyak macamnya", ujarku dulu bermimpi
Kalau dia, dari dulu ingin hidup dari berteater dan berpuisi
Kalau ada yang meragukan, dia beri contoh: Umbu Landu Paranggi dan Bapak Sapardi.
"Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda"
Awas nanti dibilang kekiri-kirian, ujarku bercanda
"Sampai sekarang dan nanti masih tetap relevan", katanya setelah mengutip Tan Malaka
Ah relevan...hidup itu kan besar biayanya, aku berkata
"Hidup itu murah, yang mahal gaya hidupnya hahahaha", aku tahu dia mengejek sambil tertawa
Waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam, cepat dan tak terasa
"Tahu tek siji karo es teh manis, piro Cak?", kami bertanya ke Cak Amri
"Limolas ewu", tahu tek Pak Haji memang masih murah seperti biasanya
"Pak Hajine ndi?"
"Lho sampeyan gak roh ta?"
Pak Haji ternyata sudah sejak dua tahun yang lalu pergi
Radang paru-paru karena kebanyakan rokok, begitu katanya sebabnya
Istri juga sudah pergi, akhirnya semuanya diwariskan ke Cak Amri
Pantas saja kulihat di dapur sekarang banyak anak muda
Tapi, suasana warung tetap saja, masih terpajang foto-foto artis ibukota
Dari Katon Bagaskara sampai almarhum Asmuni; semuanya berpose dengan senyum bangga Pak Haji.
"Pulang naik apa?", dia bertanya
Gampang, ada banyak taksi. Dari dulu kami selalu pergi sendiri-sendiri
"Si merah Astuti* masih ada?", aku giliran bertanya
Sudah uzur, katanya. Diganti dengan yang ini...
Kulihat di tempat parkir memang tidak ada lagi si Astuti
Yang ada Vespa, ternyata masih sama antik saja seleranya.
"Boleh aku titip pesan sebelum balik ke Jakarta?"
Boleh, aku mengangguk pasti
"Urip iku urup", hidup itu nyala artinya.
Aku mengangguk tanda setuju. Hidup katanya bukan hanya buat diri sendiri.
"Sampai jumpa lagi ya", tutupnya.
"Jadi...yang fana adalah waktu. Tahu tek Pak Haji abadi?" selorohku mengutip Pak Sapardi.
Kamipun tertawa, seperti tujuh tahun lalu, waktu masih naif dan bermimpi, waktu masih menjadi mahasiswa, waktu masih ditemani suara gunting Tahu Tek Pak Haji.
*Astuti: Astrea tujuh tiga
Jakarta, 26 April 2017
Comments