"Bukan Perawan Maria": Sejenak Rileks dengan Agama

Dokumentasi Pribadi

Sastra tidak melulu mengenai untaian kata-kata manis nan puitis. Bagi saya, kata-kata atau cerita yang satir justru kadang punya kekuatan sendiri: yaitu kemampuannya untuk membuat kita menertawakan diri sendiri. Ada yang pernah bilang, bahwa menertawakan diri sendiri adalah salah satu ciri kedewasaan. Bukannya menertawakan atau mencemooh orang lain yang berbeda, tapi menertawakan diri sendiri yang tentu jauh dari kata sempurna.

Agama, tentu bukan subyek untuk ditertawakan di negeri kita tercinta ini. Isu agama selalu sensitif, kepemilikan identitasnya begitu kuat untuk sebagian kelompok di Indonesia. Agama ada sejak kita lahir, ada di Kartu Tanda Penduduk, dipelajari di sekolah dan mungkin terkadang menjadi syarat pergaulan di masyarakat. Belum lagi ketika agama dikaitkan dengan politik - atau bahasa keren-nya sekarang "digoreng"- nyalanya akan semakin menyulut tombol like, share, comment dan kawan-kawannya di dunia maya.

Saya penasaran dengan buku "Bukan Perawan Maria" karya Feby Indirani, namun baru sempat membelinya sebulan yang lalu. Buku kumpulan cerita pendek ini langsung menjadi sangat menarik untuk saya. Berbagai ceritanya lekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia; berbagai relasi manusia dengan agama dan bermacam preposisi mereka mengenai kehidupan nanti di surga atau neraka (atau keduanya tidak ada?). Membacanya tentu tidak boleh serius-serius amat karena sang penulis memang ingin mengajak pembacanya untuk rileks sebentar dengan agama; sesuai dengan gerakan yang ia inisiasi "Rileksasi Beragama".

Berbagai cerita yang ada dalam buku ini, mulai dari "Baby Ingin Masuk Islam", "Cemburu pada Bidadari", "Ruang Tunggu" hingga "Bukan Perawan Maria" itu sendiri membawa satu pesan penting bagi saya. Hidup di Indonesia sekarang tidak lepas dari stempel atas identitas kita. Rajin berdoa atau share ayat-ayat di media sosial dianggap konservatif. Punya pemahaman berbeda mengenai ritual agama, dibilang terlalu liberal. Begitu pula dengan gambaran perempuan di masyarakat; apakah ia seorang ibu rumah tangga yang baik atau perempuan yang merokok dan bertato. Stempel ini tidak akan habis dibicarakan, apalagi dengan adanya media sosial dan Maha Benar netizen dengan segala komentarnya.

Membaca buku ini mungkin akan membuat pembacanya bingung, tapi syukur-syukur jika dapat membuat senyum-senyum sendiri (setidaknya pengalaman saya begitu). Bagi saya, agama adalah salah satu identitas manusia dengan berbagai tafsirnya. Ada yang memilih terikat di satu identitas tertentu, ada yang hanya mempercayai sebagian ajarannya dan tidak menjalankan ritualnya, ada juga yang bahkan tidak terafiliasi di bentuk manapun. Namun, bukan itu sebenarnya yang mendefinisikan "baik" atau "buruknya" manusia. Akan ada selalu ruang abu-abu antara dunia yang katanya hitam - putih ini. Dan hidup juga jangan serius-serius amat, rileks saja...


Comments